Sebuah Cincin Dari Nenek

SEBUAH CINCIN DARI NENEK
Kisah Anak Daun Simpur dari Belitung yang sukses menjadi seorang Advocate dan mempunyai seorang putri yang kini sedang menyelesaikan study PhD degree program study Kinder psychologie di Malaysia kini sedang berada di Bandung melakukan penelitian di Lembaga Pemasyrakatan Anak. saya sempat bertemu minum kopi Bersama – sama keluarga istri dan anaknya. dengan ini saya turunkan cerpen yang ditulis oleh. Kurnianto Purnama SH.MH.

Suatu ketika di hari nan cerah, aku jalan-jalan ke pasar di Belitung. Di sini, aku melihat para pedagang ikan dan para pedagang rempah-rempah membungkus jualannya dengan daun-daun simpor. Daun simpor adalah daun warna hijau lebar dengan guratan tulang daun di tengah yang terlihat jelas. Pohon simpor, pohon khas Belitung. Daunnya biasa digunakan membungkus barang-barang belanjaan di Belitung pada era 1970-an.

Aku tinggal bersama nenek, ayah, ibu dan saudara-saudaraku di rumah. Kami berenam saudara. Tiga laki-laki dan tiga perempuan. Aku adalah anak sulung. Ayahku bekerja di sebuah pabrik kaolin di Belitung, sementara ibuku seorang ibu rumah tangga. Kakek telah meninggal dan nenek tinggal bersama kami. Keuangan keluarga kami sederhana atau paspas-an. Kami hanya mengandalkan gaji ayah sebagai seorang buruh di pabrik kaolin yang tak jauh dari rumah kami.
Melihat kondisi keuangan ayah yang tak cukup memenuhi hidup keluarga, aku terbayang pada daun-daun simpor nan banyak tumbuh di hutan tak jauh dari pabrik kaolin ayah bekerja.

Dalam diriku berkata:
“Bila aku petik daun simpor dan jual ke para pedagang di pasar” “Uang itu, dapat aku gunakan untuk membantu ayah?”.
Akhirnya, sepulang sekolah, aku beranjak ke hutan memetik daun-daun simpor, terus jual ke para pedagang di pasar. Uangnya, aku gunakan untuk membantu ayah. Semakin lama, semakin banyak pedagang yang membeli daun simpor dariku. Namun aku tidak bisa memenuhi permintaan mereka semua, lantaran aku mesti berjalan kaki berkilo-kilometer antara hutan dan pasar.

Nenek melihat aku begitu semangat untuk membantu ayah, bolak balik antara hutan dan pasar. Tiba-tiba pada suatu hari nenek berkata padaku:

“Kong…nenek ada sebuah cincin, nenek memakainya sedari dulu. Akong jual saja cincin ini di pasar, uangnya tuk beli sepeda” “Dengan sepeda, kamu bisa cepat bolak balik dari hutan ke pasar membawa daun simpor” ujar nenek serius. Uang hasil jual cincin pun, aku belikan sebuah sepeda. Lantas uang yang dapat dari jualan daun simpor, kukumpulkan sedikit demi sedikit. Sebagian tuk membantu ayah dan sebagian aku simpan.

Pada suatu ketika, harga cabe rawit naik tajam di Belitung, aku pun membeli cabe dari Jakarta yang lebih murah, lantas dijual di Belitung. Maka aku mendapat keuntungan. Begitu pula ketika ada informasi, terasi di Jakarta mahal, kemudian aku kirim terasi dari Belitung ke Jakarta.

Pada suatu hari, nenekku jatuh sakit. Dokter Belitung merujuk nenek berobat ke RS Jakarta, sebab peralatan medis di RS Belitung kurang lengkap. Ayah tidak memiliki uang, ayah nampak sedih dengan kulit hitam legam tersengat matahari. Matanya merah.

Aku hampiri ayah dan menyampaikan:
“Ayah, aku punya uang yang cukup, untuk membawa nenek berobat ke Jakarta”
“Ayah diam sejenak, lalu menganggukan kepala, dan mata merahnya menatapku dalam-dalam” Setelah sembuh, nenek diberitahu ayah, bahwa akulah yang membiayai nenek berobat ke Jakarta. Wajah nenek pun tersenyum bahagia.*

Bandung, 15 Februari 20

Share with:


Teamwork makes the dream work, but a vision becomes a nightmare when the leader has a big dream and a bad team.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Contact Us

Give us a call or fill in the form below and we will contact you. We endeavor to answer all inquiries within 24 hours on business days.
Please enable JavaScript in your browser to complete this form.
Translate »